Selasa, 16 Maret 2010

Berkumpul Dengan Keluarga di Syurga

by Dwi Pujiyanto (adp88)

Ada penggalan do'a yg nyaris tak pernah kita lewatkan setiap usai sholat.
"Robbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yun."
"Ya Rabb, karuniakan kami dengan menjadikan istri serta anak kami penyejuk mata." Potongan munajat yg diambil dari surat Al-Furqon ayat 72 ini, setidaknya merupakan cermin, kita sangat ingin memperoleh keturunan yg baik. Seorang penjahat, pelaku kriminal, pezina, penipu, siapapun, pasti ingin anak keturunannya menjadi orang baik-baik. Itu suara nurani.
Saudaraku,Harapan memiliki keluarga dan keturunan yg shalih makin kuat. Terutama dengan tantangan zaman yg semakin keras menerpa nilai moral dan agama. "Anak2mu bukanlah anakmu, tapi mereka adalah anak zamannya," begitulah ungkapan seorang penyair menggambarkan pengaruh zaman yg sangat mempengaruhi kepribadian anak.
Adalah seorang tabi'in bernama Sahal at-Tastri berjanji kepada Allah untuk anaknya saat istrinya masih mengandung anaknya. Ia mengajak anaknya untuk beramal shalih dan berharap agar Allah memberi kehormatan kepadanya dengan anak shalih. Katanya, "Sesungguhnya aku berjanji kepada Allah, aku akan memelihara anakku sejak saat ini, ketika anakku masih dalam bentuk benih atau janin, sampai nanti kelak Allah membangkitkan mereka pada alam kehidupan yang nyata." (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/35)

Mendidik anak dan keluarga untuk tetap berada dalam jalan hidayah Allah, sebenarnya banyak bertumpu pada bagaimana kualitas ketaqwaan dan keshalihan orang tua. Firman Allah QS. At-Tahrim ayat 6 yg artinya, "Wahai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka," menyebutkan pemeliharaan itu berawal dari pemeliharaan terhadap diri sendiri (anfusakum), atau fihak orang tua. Setelah itu, barulah pemeliharaan itu diarahkan pada sanak keluarga (ahliikum). Keshalihan orangtua juga ternyata memiliki akibat pada kebaikan keturunannya. Lihatlah jawaban Nabi Khidir ketika Nabi Musa as bertanya, "Kenapa ia menolak mengambil upah memperbaiki rumah yg hampir runtuh?" Jawaban Khidir adalah, "Kaana abuuhuma shalihan," Adalah orang tua mereka itu orang shalih" (Lihat Al-Kahfi:82)
Saudaraku, ketahuilah korelasi antara sikap kita kepada orang tua, dengan sikap anak kita kepada kita. Rasulullah saw pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah mempunyai hamba2 yg Ia tidak akan berbicara kepada mereka di hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka dan tidak akan melihat mereka." Sahabat bertanya, "Siapakah mereka itu ya Rasulullah?" Rasul bersabda, "mereka adalah orang yg tidak mau peduli dengan orangtuanya, membenci keduanya dan tidak mau peduli dg anaknya." (HR. Ahmad dan Tabrani). Apa artinya itu? Kebaikan kita pada orang tua, juga punya hubungan dengan sikap baik anak kita kepada kita sendiri. Pelajaran paling sederhana dari hal ini adalah nasihat Rasulullah yg berbunyi, "Birru aabaa akum yabirrukum abnaa akum." Berbaktilah kalian pada orang tua kalian, niscaya anak keturunan kalian akan berbakti kepada kalian." (HR. Tabrani)
Saudaraku, Begitulah. memperbaiki hubungan dengan orang tua menjadi sebab tidak langsung ketaatan dan keshalihan anak. Ini sunnah ilahiyah, ketetapan ilahi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam al-Ishabah (1/312), bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku masuk surga dan aku mendengar seseorang yg membaca. Aku berkata,"Suara siapa ini?" Malaikat menjelaskan bahwa itu adalah suara Haritsah bin Nu'man. Rasulullah saw lalu bersabda, "Itu krn sifat berbaktinya Haritsah." Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa Haritsah adalah pemuda yg paling berbakti pada ibunya.
Saudaraku, semoga Allah mengaruniakan kekuatan pada kita untuk memikul tanggung jawab mulia ini. Baik sekali kita mengingat kembali kisah yg diriwayatkan Imam Ahmad, ketika ada seorang pemuda dalam keadaan sekarat. Rasulullah membimbingnya mengatakan "Laa ilaaha illallah", tapi pemuda itu tidak bisa mengatakannya. Padahal, menurut orang2 yg mengenalnya, pemuda itu termasuk orang yg rajin sholat. Akhirnya terbetik kabar bahwa ia mempunyai masalah pada ibunya.
Mendengar hal itu, Rasul segera memanggil ibu pemuda tsb, "Engkau lihat, aku sudah sediakan api menyala, bila engkau memaafkan anakmu maka akan kami biarkan ia, tapi bila tidak kamu akan kami bakar ia dengan api ini. Apakah engkau akan memaafkannya?' kata Rasulullah. Naluri kasih sayangnya tersentuh hingga ia mengatakan bersedia memaafkan anaknya. "Ya Allah aku bersaksi padamu, dan aku bersaksi kepada RasulMu bahwa aku ridho dengan anakku". Setelah itu barulah pemuda itu bisa mengatakan, Laa ilaaha illallah, Rasulullah bersabda, "Alhamdulillah, yg telah menyelamatkannya dari neraka..."
Saudaraku,Nikmat terindah bagi keluarga yg tumbuh dalam ketaatan adalah, Allah akan mempertemukanmereka di surga yang abadi. Allah SWT berfirman, "Dan orang2 yang beriman, dan yg anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan,Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka." (QS. Ath-Thur:21).
Demikianlah,keberadaan orangtua yg shalih bisa menjadi sebab masuknya anak2 dan keluarga yg lain ke dalam surga. Dalam Al-I'tiqad, Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad kepada Ibnu Abbas. Bahwa setelah Allah menurunkan surat An-Najm ayat 39 yg artinya, "Tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali sebatas apa yg diupayakannya" Allah menurunkan pula surat Ath-Thur ayat 21 "waalhaqnaa bihim dzurriyatahum", Kami pertemukan mereka dengan keturunan mereka. Ibnu Abbas mengomentari bahwa yg membuat mereka dipertemukan itu adalah keimanan. "Allah memasukkan anak2 dan keturunan itu ke surga, krn kebaikan dan keshalihan orangtua mereka, begitu katanya. Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat "wa alhaqnaa bihim dzurriyatahum", itu berarti Allah SWT mengangkat keturunan orang mukmin bersama orang tuanya dalam tingkatan yg sama di surga meski mereka mungkin tidak sama amalnya dengan orangtua mereka. Ibnu Hajar menyebutkan sebuah hadits, bahwa Haritsah bin Nu'man datang kepada Nabi saw ketika Nabi tengah mendo'akan seseorang. Haritsah duduk dan tidak memberi salam. Jibril bertanya, "Kenapa ia tidak memberi salam, jika memberi salam niscaya akan kami balas salamnya." Nabi menjawab, "Apakah engkau mengenal orang ini?" Jibril berkata, "Ya dia adalah satu dari 80 orang yg bersabar dalam perang Hunain, dan diberi rizki oleh Allah serta diberi rizki anak2 mereka akan masuk surga (al-Ishabah, 1/312). Subhanallah. Begitulah penghargaan Allah SWT terhadap orangtua yg shalih.
Saudaraku, Sampai disini mengertilah kita makna perkataan Sa'id bin Musayyib, "Inni la-ushalli fa adzkuru waladi, fa uziidu fi sholati," Sesungguhnya aku sholat, dan aku teringat dengan anakku, lalu kutambahkan lagi sholatku.

Indahnya Cinta Karena Allah

by adp88

“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”


Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).

(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”

Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.

“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”

Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”

Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”

Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)

“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”

Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.

Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:

“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)

Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.

Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
selengkapnya: http://muslimah.or.id/aqidah/indahnya-cinta-karena-allah.html